Searching Engine

Kamis, 22 Februari 2018

Menakar Respon BI Terhadap Rencana Kenaikan The Fed

sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed sepertinya sudah semakin siap menaikkan suku bunga. Pelaku pasar memperkirakan langkah itu akan ditempuh dalam pertemuan bulan depan.
Tidak hanya AS, sejumlah negara maju pun sudah ambil ancang-ancang mengetatkan kebijakan moneter. Bank sental Uni Eropa (ECB) diperkirakan mengakhiri program quantitative easing (pembelian surat berharga) pada akhir tahun ini.
Berdasarkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters, ECB akan menghentikan program tersebut pada Desember 2018. Setelah itu, suku bunga akan dinaikkan pada pertengahan 2019.
Di Asia, beberapa negara yang sudah terlebih dulu menaikkan suku bunga acuan adalah Malaysia, Korea Selatan, sampai Malaysia. Langkah tersebut ditempuh salah satunya sebagai antisipasi tren kenaikan suku bunga global.
Bagaimana dengan Bank Indonesia (BI)? Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) terakhir, BI masih mempertahankan sikap kebijakan moneter netral. BI belum menetapkan apakah bias ke arah pengetatan atau pelonggaran moneter. Sepertinya memang itu yang terbaik bagi Indonesia.

BI memang seakan berada di persimpangan jalan. Saat ini masih ada yang berharap BI bisa lebih mengendurkan kebijakan moneter dengan penurunan suku bunga acuan. Tetapi ada pula yang beranggapan sudah saatnya BI menaikkan suku bunga agar tidak behind the curve.
 

Alasan dari kubu yang ingin BI melakukan pelonggaran moneter adalah Indonesia masih membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Pertumbuhan ekonomi 2017 tercatat 5,07%, lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya yang 5,02%.

Namun itu memang belum cukup.
 Agar bisa naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi, Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi lebih dari itu. Jim Yong Kim, Presiden Bank Dunia, menegaskan ekonomi Indonesia perlu tumbuh 8-9% untuk keluar dari kelompok negara berpendapatan menengah.
Salah satu cara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah menurunkan suku bunga. Penurunan bunga akan menyebabkan uang beredar lebih banyak, sehingga menstimulasi aktivitas ekonomi. 

Sementara mereka yang menyuarakan BI mulai memperketat kebijakan moneter punya alasan kebijakan ini perlu ditempuh agar Indonesia tidak “ketinggalan kereta”. Di tengah tren kenaikan suku bunga global, Indonesia tidak akan menarik di mata investor bila masih mempertahankan suku bunga yang sekarang.
Selain itu, dikhawatirkan Indonesia akan mengalami pembalikan arus modal (capital reversal). Suku bunga di negara lain semakin menarik, apalagi di negara maju, akan membuat investor kepincut dan mengalihkan dananya yang ada di Tanah Air.
Pembalikan arus modal ini akan mengancam nilai tukar rupiah. Semakin banyaknya valas yang mengalir keluar dari Indonesia akan menyebabkan rupiah dalam tekanan. 
Kedua pendapat ini ada benarnya. Namun sulit bagi BI untuk memilih salah satu, karena masing-masing punya risiko yang tidak ringan.
BI sudah mengakui bahwa ruang pelonggaran moneter sudah sempit. Di tengah lingkungan global yang sedang dalam tren menaikkan suku bunga, pelonggaran moneter memang bukan pilihan yang bijak karena Indonesia akan “dihukum” oleh pasar.
Namun menaikkan suku bunga juga belum menjadi opsi yang tepat, setidaknya untuk saat ini. Ya itu tadi, Indonesia masih butuh pertumbuhan ekonomi. Menaikkan suku bunga berarti mengerem laju pertumbuhan ekonomi, tentu bukan sesuatu yang diinginkan oleh rakyat.
Oleh karena itu, BI memilih netral dalam hal kebijakan moneter. Dalam situasi saat ini, mungkin itu memang pilihan terbaik. Pelaku pasar memperkirakan BI masih akan mempertahankan sikap ini setidaknya sampai akhir 2018.
Namun bukan berarti BI abai mendorong pertumbuhan ekonomi. Bank sentral masih mengedepankan sikap akomodatif dalam konteks kebijakan makroprudensial. BI melonggarkan sejumlah ketentuan seperti uang muka perumahan, Giro Wajib Minimum (GWM) yang mesti disetorkan bank, dan sebagainya. Kebijakan-kebijakan ini juga termasuk pro-growth, bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar