Searching Engine

Senin, 23 Oktober 2017

Mencari Alternatif Langkah Penyelamatan Perusahaan Negara

Rencana pemerintah membentuk induk perusahaan (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus mendapat kritik dari sejumlah akademisi dan ekonom Indonesia. Pasalnya rencana Kementerian BUMN yang dipimpin oleh Menteri Rini Soemarno dinilai memiliki banyak kelemahan dan tidak akan memberi dampak positif bagi masyarakat dan negara.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Rofikoh Rokhim menyarankan pemerintah sebaiknya tidak gegabah dalam membentuk holding BUMN. Menurut Opi, sapaan akrabnya, Kementerian BUMN seharusnya bisa memperbaiki kinerja seluruh perusahaan-perusahaan pelat merah yang dibinanya dengan melakukan kajian mendalam mengenai permasalahan dari setiap BUMN itu sendiri. Mulai dari identifikasi kegiatan usaha, keterlibatan pemerintah, dan sifat dari masing-masing BUMN.
“Ada 118 BUMN di Indonesia dengan ratusan anak usaha. Itu semua punya masalahnya sendiri-sendiri, tidak bisa selesai hanya dengan membentuk holding per sektor. Kementerian BUMN seharusnya meneliti satu per satu BUMN lalu diputuskan mekanisme holdingnya. Tetapi tidak bisa cepat karena ada kepentingan politik dari holding tersebut,” ujar Rofikoh, dalam seminar “Penyelamatan Pengelolaan BUMN Indonesia” yang diselenggarakan Forum Kajian Wartawan Ekonomi (FKWE) di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Kamis (19/10).
Sementara itu, Ekonom Faisal Basri dengan tegas menyatakan bahwa diteruskannya wacana membentuk holding BUMN hanya akan memperkecil penerimaan pajak Indonesia. “Semakin besar skala BUMN, maka akan semakin rendah pembayaran pajaknya. Ini tesis yang baru saja saya persiapkan,” kata Faisal.
Faisal mencatat, pemerintah sangat gemar memberikan penugasan kepada BUMN bahkan sebelum holding tersebut terbentuk. Jika holding sudah terbentuk, ia khawatir akan semakin banyak penugasan yang diberikan oleh negara.
Ia mencontohkan, PT PLN (Persero) belum lama ini diberikan tugas untuk membangun transmisi jaringan listrik yang selama ini menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM. Kemudian PT Kereta Api Indonesia (Persero) ditugaskan selain menjadi operator kereta light rail transit (LRT) juga menyuntik pendanaan LRT Jakarta yang membutuhkan dana Rp 21 triliun.
Dalam kacamata Faisal, perusahaan-perusahaan pelat merah tersebut ditugaskan untuk investasi, padahal tidak memiliki uang. “Hingga akhirnya mencari pinjaman yang membuat labanya turun semua. Belum lagi Pertamina diminta menjual harga BBM yang sama rata di Indonesia, atau PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang dipaksa menjual gas US$ 6 per MMBTU akhirnya harus menanggung penugasan itu dari kas sendiri. Implikasinya, pembayaran pajak dan dividennya makin kecil,” jelas Faisal.
Secara ekstrem, bekas Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Indonesia itu menyindir sebaiknya pemerintah menutup saja BUMN-BUMN tersebut dan menjadikannya pabrik rokok yang secara nyata menyumbang penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) yang terus meningkat setiap tahun.
“Tahun lalu penerimaan cukai rokok Indonesia sekitar Rp 139,5 triliun. Sementara laba BUMN hanya Rp 34,2 triliun. Laba BUMN selalu turun karena terus-terusan diperkosa dan diinjak melalui penugasan pemerintah. Lebih baik tutup saja BUMN-nya dan jadikan pabrik rokok,” ketusnya.
Faisal menilai, holdingisasi BUMN berdasarkan sektor bisnis yang dijalankan tidak tepat dilakukan karena hanya akan mempersempit ruang kompetisi bagi perusahaan-perusahaan swasta. Bagi Faisal, suatu pemerintahan bisa disebut berhasil jika bisa memperbesar peran swasta dalam pembangunan dan bukan sebaliknya.
“Misal harga beras bisa stabil tanpa ada campur tangan pemerintah, itu artinya pemerintah sudah bisa membuat pilar persaingan bisnis yang sehat. Bukan dengan memperbesar BUMN melalui monopoli yang menciptakan kaidah bisnis yang tidak sehat. Negara ini kok malah menuju state capitalism seperti Uni Soviet tahun 1980-an?” ungkapnya.
Kusdhianto Setiawan, Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomika & Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) menambahkan, permasalahan utama BUMN di Indonesia terletak pada kelemahan manajemen dan intervensi pemerintah.
“BUMN yang berbentuk Persero itu tugasnya adalah berbisnis bukan menerima penugasan. Kalau untuk tugas khusus seperti itu kan ada BUMN berbentuk Perusahaan Umum (Perum) yang tidak mengedepankan profit,” kata Kusdhianto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar